Minimalism: Bukan Sekadar Estetik, Tapi Cara Hidup.
Seperti ada yang berat, padahal kamu hanya duduk di kamar yang penuh barang,
notifikasi, dan pikiran yang nggak kelar-kelar?
Aku pernah. Dan mungkin… kamu juga.
Banyak barang, banyak to-do list, banyak target, banyak pencapaian.
Aku beli planner yang lucu, rak buku tambahan, baju yang katanya “biar makin PD pas meeting”,
dan nyaris semua tools yang direkomendasikan influencer.
Tapi semakin aku punya banyak, semakin aku merasa... kosong.
Pulang kerja, aku duduk di kamar—ruang yang penuh dengan hal-hal yang katanya bisa bikin aku lebih “baik”—tapi malah bikin sesak.
Sampai satu hari, aku lihat rak buku itu.
Buku-buku yang sebagian belum sempat dibuka plastiknya.
Dan aku sadar, aku nggak butuh semuanya.
Bukan cuma barang, tapi juga komitmen.
Grup WhatsApp yang cuma jadi sumber overthinking, unfollow akun-akun yang bikin insecure,
bahkan nyoret beberapa goals yang ternyata… bukan goals aku, tapi ekspektasi orang lain.
Hidupku jadi lebih ringan.
Bukan karena aku nggak punya apa-apa, tapi karena aku akhirnya tahu apa yang benar-benar penting.
Minimalisme bukan tentang hidup dengan putih-putih dan furnitur serba kayu.
Bukan juga tentang punya 3 baju dan 1 sepatu.
Tapi tentang sadar—bahwa kita nggak harus punya segalanya untuk merasa cukup.
Bahwa kita bisa memilih... dan nggak semua hal layak dibawa terus.
Jadi, aku penasaran:
Apa hal paling “nggak penting” yang ternyata kamu pertahankan selama ini?
Drop di kolom komentar, siapa tahu kamu nggak sendiri. 💬👇
Tidak ada komentar: