Ketenangan Bukan Tujuan. Tapi Kondisi Jiwa yang Dilatih.
Pernah nggak sih, kamu ngerasa iri sama orang yang kelihatannya tenang banget menghadapi hidup?
Dikhianati, tetap sabar.
Dunia kayak runtuh, tapi dia malah bisa ngeteh sambil baca buku.
Kamu mikir,
“Kok bisa sih setenang itu? Emangnya dia nggak punya beban hidup?”
Tapi karena jiwanya lebih terlatih.
Beberapa tahun lalu, gue adalah orang paling reaktif yang gue kenal.
Dikritik sedikit? Ngambek.
Rencana gagal? Frustrasi.
Disalip di jalan? Rasanya pengen turun dan ceramahin pengemudinya selama 3 babak.
Setiap kali hidup melenceng dari yang gue mau, gue ngerasa dunia nggak adil.
Gue kira, ketenangan itu bakal datang ketika semua sesuai rencana.
Ketika tabungan cukup, pasangan ideal, kerjaan stabil, dan semua orang ngerti perasaan kita.
Yang bisa stabil cuma dalamnya kita.
Gue mulai sadar, ketenangan itu bukan hadiah dari semesta.
Dia bukan “goal” yang dicapai sekali seumur hidup.
Dia kayak otot. Harus dilatih. Setiap hari.
Gue belajar dari hal kecil:
- Menarik napas 3 detik sebelum merespons pesan yang bikin emosi.
- Nulis jurnal ketika pikiran kacau.
- Ngobrol sama diri sendiri di pagi hari, bukan langsung buka notifikasi dunia luar.
- Memaafkan, bahkan ketika gue ngerasa orang itu nggak pantas dimaafkan—demi kedamaian gue sendiri.
Lambat laun, dunia luar masih tetap chaos.
Tapi ada yang berubah—gue nggak lagi ikut-ikutan rusuh di dalam.
Ketenangan itu bukan hasil akhir. Dia proses.
Bukan destinasi, tapi kondisi.
Dan seperti kondisi fisik, dia bisa dilatih, dibentuk, dan dipelihara.
Tapi bukan berarti kamu gagal.
Itu artinya kamu masih di jalan latihan.
Dan itu jauh lebih berani daripada cuma jadi penonton yang nyinyir dari jauh.
💬 Gimana menurutmu?
Kapan terakhir kali kamu merasa tenang, bukan karena situasi, tapi karena kamu memilih untuk tetap tenang?
Siapa tahu kisahmu bisa bantu orang lain yang lagi belajar hal yang sama. 💛
Tidak ada komentar: