Emosi Boleh Datang. Tapi Jangan Biarkan Mereka Mengemudi


Pernah nggak, kamu kirim chat panjang lebar ke seseorang dalam keadaan marah… 
lalu beberapa jam kemudian, kamu baca ulang dan mikir: 
"Astaga, kenapa gue nulis beginian?"

Yap. 
Kita semua pernah membiarkan “pengemudi tak berizin” mengendalikan setir hidup kita. 
Namanya: emosi.


Dulu, setiap kali aku merasa kecewa, sedih, atau marah, 
rasanya kayak ada alarm darurat yang bunyinya keras banget di dalam kepala.

Ada satu momen yang nggak pernah aku lupa…
Sore itu, aku pulang kerja dengan kepala panas. 
Deadline berantakan, rekan kerja ngelempar tanggung jawab, dan di rumah, adikku malah pakai motorku tanpa izin.
Aku meledak. Beneran meledak. 
Bukan cuma ngomel, tapi juga keluar kata-kata yang seumur hidup aku sesali.

Malamnya, dia diam saja. 
Dan aku… ngerasa seperti monster yang nggak bisa bedain emosi dari kenyataan.
Besoknya, aku kirim pesan minta maaf. 
Tapi hubungan kami nggak pernah lagi sehangat sebelumnya.

Saat itu aku sadar:
Emosi harusnya cuma duduk di kursi penumpang, bukan jadi supir yang bawa kita nabrak segalanya.


Emosi datang bukan untuk dihancurkan, tapi untuk didengarkan.
Tapi satu hal penting yang sering kita lupakan:
Mereka bukan kompas. Mereka cuma sinyal.


Marah? 
Mungkin ada batas yang dilanggar.
Sedih?
 Mungkin ada luka yang butuh perhatian.
Cemburu? 
Mungkin ada ketakutan kehilangan yang belum kita peluk.


Tugas kita bukan melawan emosi. 
Tapi juga bukan nurut mentah-mentah.
Kita perlu belajar pause.
Tarik napas. 
Lihat jalan. 
Baru jalan lagi.


Bayangkan hidupmu seperti mobil.
Kalau emosi jadi sopir, kamu bakal tabrakan, nyasar, atau mogok.
Tapi kalau kamu belajar jadi pengemudi yang tenang, kamu bisa sampai tujuan… 
walau kadang jalanan penuh badai.

Jadi, sekarang aku mau tanya:

Pernah nggak kamu nyesel karena ngikutin emosi sesaat?


Cerita dong di kolom komentar. Siapa tahu, pengalamanmu bisa jadi cermin buat yang lain juga. 

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.