Bagaimana Stoikisme Membantu Kita Menemukan Arah Hidup
Saat Hidup Terasa Hampa, Stoikisme Menuntunku Pulang
Pernah nggak sih kamu ngerasa hidup kayak kapal tanpa kompas?
Berlayar, iya. Tapi entah ke mana.
Semua sibuk mengejar—uang, status, validasi—tapi kita sendiri lupa: sebenarnya mau ke mana?
Berlayar, iya. Tapi entah ke mana.
Semua sibuk mengejar—uang, status, validasi—tapi kita sendiri lupa: sebenarnya mau ke mana?
Aku pun pernah begitu.
Sampai suatu malam, di tengah kecemasan dan kekecewaan yang numpuk,
aku menemukan sebuah filosofi kuno yang pelan-pelan mengubah arah hidupku: Stoikisme.
Sampai suatu malam, di tengah kecemasan dan kekecewaan yang numpuk,
aku menemukan sebuah filosofi kuno yang pelan-pelan mengubah arah hidupku: Stoikisme.
Tahun 2021, aku kehilangan pekerjaan. Bukan karena performa jelek, tapi karena keadaan.
Pandemi memaksa kantor tempatku bekerja gulung tikar.
Dalam sekejap, semua rencana hidupku berantakan.
Aku duduk di kamar, merenung sambil menatap langit-langit:
Pandemi memaksa kantor tempatku bekerja gulung tikar.
Dalam sekejap, semua rencana hidupku berantakan.
Aku duduk di kamar, merenung sambil menatap langit-langit:
“Gue ini siapa sih kalau semua yang gue banggakan lenyap?”
Di titik itu, aku mulai banyak baca. Random.
Sampai akhirnya aku ketemu kutipan ini dari Epictetus:
Sampai akhirnya aku ketemu kutipan ini dari Epictetus:
“We suffer not from the events in our lives, but from our judgment about them.”
(Kita menderita bukan karena kejadian yang kita alami, tapi karena penilaian kita terhadapnya.)
Boom. Mind blown.
Aku mulai gali lebih dalam tentang Stoikisme.
Ternyata, ini bukan filosofi kaku dan berat. Ini jalan hidup.
Stoikisme mengajarkanku satu hal penting:
Kita nggak bisa ngontrol dunia, tapi kita bisa ngontrol cara kita merespon.
Ternyata, ini bukan filosofi kaku dan berat. Ini jalan hidup.
Stoikisme mengajarkanku satu hal penting:
Kita nggak bisa ngontrol dunia, tapi kita bisa ngontrol cara kita merespon.
Hari demi hari, aku mulai latihan:
- Nggak lagi panik tiap scroll media sosial dan lihat "kesuksesan orang lain".
- Mulai menulis jurnal tiap pagi, bertanya, "Apa yang bisa aku kontrol hari ini?"
- Belajar menerima bahwa kerugian, penolakan, kehilangan—adalah bagian dari permainan hidup.
Perlahan, arah hidupku berubah. Bukan karena aku tiba-tiba sukses atau kaya.
Tapi karena aku mulai paham:
Arah hidup itu bukan sesuatu yang ditemukan di luar, tapi dibangun dari dalam.
Tapi karena aku mulai paham:
Arah hidup itu bukan sesuatu yang ditemukan di luar, tapi dibangun dari dalam.
Stoikisme bukan obat ajaib. Tapi ia memberiku kompas.
Ketika badai datang, ia mengajarkan untuk tetap tenang, tetap jalan, tetap hadir.
Ketika badai datang, ia mengajarkan untuk tetap tenang, tetap jalan, tetap hadir.
Kalau kamu sedang merasa tersesat, mungkin Stoikisme bisa jadi teman seperjalanan.
Bukan untuk membuat semuanya mudah, tapi untuk membuatmu lebih kuat.
Bukan untuk membuat semuanya mudah, tapi untuk membuatmu lebih kuat.
Pernahkah kamu merasa hidupmu kehilangan arah? Apa yang kamu lakukan untuk menemukannya kembali?
Yuk ceritakan di kolom komentar. Mungkin kisahmu bisa jadi pelita untuk orang lain.
Tidak ada komentar: