Dulu Aku Bangga Punya Seragam PT… Tapi Sekarang Lebih Bahagia Pakai Kaos Oblong di Rumah
1 Mei.
Dulu cuma jadi tanggal merah di kalender.
Waktu istirahat lebih panjang, bisa pulang kampung kalau mepet.
Tapi semakin ke sini, Hari Buruh mulai terasa beda—lebih dalam, lebih personal.
17 Tahun Berangkat Pagi, Pulang Sore kadang Malam
Waktu masih jadi karyawan di salah satu perusahaan manufaktur di pinggiran kota, hidupku lurus.
Jam 6 pagi sudah berdiri di halte, jam 7 absen, jam 4 sore pulang kalau beruntung. Kadang lembur, kadang cuma lelah.
Gaji cukup, ada THR, BPJS, slip gaji tiap bulan—tapi entah kenapa, selalu ada lubang kosong yang nggak bisa ditutup.
Setiap 1 Mei, aku lihat ribuan orang turun ke jalan. Terik, keringetan, teriak minta keadilan.
Sementara aku? Duduk di rumah, sambil ngopi, nonton berita.
Kadang mikir: “Apa yang mereka perjuangkan, ya? Kan kita udah kerja juga, digaji juga.”
Tapi sekarang, setelah resign dan kerja sendiri, aku paham... banget.
Ketika Aku Memilih Pergi
Keputusan resign setelah 17 tahun bukan hal yang gampang.
Banyak yang bilang, “Kamu gila. Tinggal nunggu pensiun.”
Tapi hati ini nggak bisa terus kompromi.
Hari-hariku dulu seperti salinan karbon: sama, berulang, dan pelan-pelan menggerus mimpi.
Sampai akhirnya, aku bilang cukup.
Sekarang aku freelancer. Nggak ada absen, nggak ada seragam, nggak ada slip gaji—tapi juga nggak ada batas untuk berkembang.
Penghasilan naik-turun, iya. Tapi aku mulai merasa hidupku milikku sendiri.
Makna Hari Buruh Jadi Lebih Dekat
Baru sekarang aku sadar: Hari Buruh bukan sekadar demo dan poster.
Ini tentang perjuangan orang-orang yang nggak bisa resign, yang tetap bertahan demi anak-anaknya, yang saban hari bekerja dengan harapan esok lebih baik.
Dan ini juga tentang kita yang sudah memilih jalan berbeda—yang tetap bekerja, meski tanpa kantor, tanpa struktur.
Hari Buruh adalah pengingat: bahwa kerja keras, dalam bentuk apapun, layak dihargai.
Bukan cuma soal status pekerja tetap atau freelance, tapi soal bagaimana manusia berjuang untuk hidup dengan martabat.
Sekarang, Aku Nggak Lagi Diam di Tanggal Merah
Setiap 1 Mei, aku selalu posting sesuatu. Bukan untuk gaya-gayaan, tapi untuk menghormati teman-teman seperjuangan.
Untuk teman-temanku yang masih di jalur korporat—aku salut atas ketahanan kalian.
Untuk sesama freelancer—aku tahu rasanya merangkai mimpi dari nol.
Untuk yang sedang bimbang di tengah—aku paham betapa beratnya mengambil keputusan.
Kamu sendiri gimana?
Masih kerja kantoran, atau sudah cabut seperti aku?
Apa makna Hari Buruh buatmu sekarang?
Yuk, cerita di kolom komentar.
Siapa tahu, pengalamanmu bisa jadi pelita buat orang lain yang masih bertanya-tanya tentang masa depannya.
Tidak ada komentar: